Keadilan sebagai warga Gereja
Saudara yang dikasihi Tuhan, salam jumpa kembali. Doaku semoga kita semua selalu dalam naungan kasih Tuhan, amin!!
Saya mendapat tema yang disuguhkan yakni tentang keadilan. Wah kita baru saja merayakan HUT RI Ke-72 sebagai bangsa yang merdeka. Saya berharap kita juga merdeka sebagai anak-anak Tuhan. Bukti kemerdekaan kita sebagai anak Tuhan adalah bisa mendapat perlakuan yang adil dan terlebih dapat berlaku adil. Amin??
Ada beberapa hal penting agar kita bisa mendapatkan kembali pengertian mendasar mengenai keadilan yang dibangun di atas Antropologi Kristiani. Hal ini perlu kembali diangkat mengingat pola pikir modern yang mulai membatasi dan bahkan mengurangi kriteria keadilan. Keadilan sosial oleh Gereja bukanlah sesuatu yang didasari pada falsafah duniawi, yang dijaman sekarang mungkin sudah benar-benar menjadi lebih revolusioner.
Keadilan merupakan salah satu nilai dasar dari doktrin sosial Gereja. Keadilan merupakan salah satu kebajikan di mana dapat membantu setiap orang untuk memperoleh haknya yang seharusnya dan sebenarnya. Gereja melihat keadilan sebagai salah satu kebajikan utama.
Berbicara tentang keadilan, iktisar ajaran sosial Gereja tidak melupakan bahwa adanya keadilan karena pertama dan terutama adalah peranan Tuhan yang terlibat dan partisipasi dari pihak manusia. Menurut Paus Leo XIII dalam ensikliknya mengatakan bahwa: “Dunia telah mendengar apa yang disebut dengan ‘hak-hak manusia.’ Biarkan hal itu didengar sebagai hak-hak Allah.”
Kita boleh menyimpulkan dari pernyataan Paus ini bahwa dunia telah mendengar cukup tentang keadilan manusia dan kini saatnya dunia mendengar tentang keadilan Allah. “Angkatlah hatimu kepada Tuhan” itulah hal yang pertama, benar dan adil. Manusia modern telah tidak mendengar secara cukup dan penuh keadilan karena Allah dan keadilan karena manusia.
Secara subjektif, keadilan diterjemahkan sebagai prilaku yang didasarkan pada kemauan untuk mengakui yang lain sebagai orang. Ini merupakan sikap yang sangat internal. Di sisi lain keadilan dapat dipandang sebagai kriteria yang menentukan moralitas dalam lingkup sosial dan intersubjektif (Kompendium Gereja Katolik No. 201). Apakah ini berarti ada tujuan mutlak sebagai norma yang mengatur interaksi antara dua orang, orang dan masyarakat dan masyarakat secara keseluruhan. Jawabannya adalah ya.
Baik sikap internal maupun external, demi tujuan moralitas keduanya harus berdampingan demi mendukung keadilan.
Ketulusan saja dalam menerapkan keadilan tidaklah cukup. Keadilan legalistic juga tidaklah cukup. Perlu adanya sikap internal dan external.
Ada yang mencari keadilan dengan keadilan, ada pula yang mencari ketidakadilan dengan ketidakadilan dan ada juga kelompok orang yang mencari keadilan dengan cara yang tidak adil. Sementara yang lain lagi hanya mencari arti dari sebuah ketidakadilan. Kita perlu memperjuangkan keadilan dengan keadilan, itulah keadilan yang sebenarnya.
Bagi kita keadilah harus lebih dari keadilan. Keadilan yang kita hayati harus terbuka untuk, diinformasikan oleh, dilembutkan melalui, dan dilengkapi dengan hal-hal seperti; solidaritas, cinta dan belas kasih serta pengampunan dengan semua kualitas yang tidak menimbulkan ketegangan satu satu sama lain. Tidak ada batas untuk solidaritas, cinta dan belas kasih dan pengampunan, dalam menerapkan keadilan. Tuhan Memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar